WildSumatra

Thursday, December 08, 2005

Struktur Komunitas Burung Lapisan Bawah pada Daerah Pinggiran Hutan Sekunder Dataran Rendah Sumatera Barat

Wilson Novarino, Anas Salsabila & Jarulis
Zoo Indonesia No 29 : 51 – 58. Masyarakat Zoologi Idonesia.


ABSTRACT

The study on understorey bird community structure in edge secondary lowland forest in West Sumatra has been done since March 2002 until December 2002. The study conducted by using 15 mists net that set up on ground level. Field studies conducted twice a month each for five days (except for the first three month only once a month), in total 79 working days. A number of 567 individuals have been captured during the field studies, those birds belong to 73 Species from 21 families. Nectariniidae became the most often family captured, followed by Pycnonotidae. Based on species Arachnothera longirostra became the most often captured, followed by Ceyx rufidorsa and Pycnonotus erythropthalmos. Based on guild, this area dominated by insectivore-frugivore birds (I/F) and litter gleaning insect (LGI) and Terestrial Frugivorous (TF) became the lowest one. The results also show variation on birds captured based on month of field studies.

Key word: Birds, community structure, lowland forest, West Sumatra

ABSTRAK

Penelitian mengenai struktur komunitas burung lapisan bawah pada daerah pinggiran hutan sekunder Sumatera Barat telah dilakukan sejak Maret 2002 sampai Desember 2002. Penelitian dilakukan dengan menggunakan 15 buah jala kabut yang dipasang pada ketinggian ground level. Pengamatan dilakukan dua kali sebulan dengan masing-masingnya selama lima hari (untuk tiga bulan pertama hanya sekali sebulan) dengan total keseluruhan 79 hari kerja. Sebanyak 567 individu burung tertangkap selama penelitian, burung-burung tersebut tergolong kedalam 73 jenis dari 21 famili. Nectariniidae merupakan famili yang paling sering tertangkap, diikuti oleh Pycnonotidae. Pada tingkat jenis, Arachnothera longirostra merupakan jenis yang paling sering tertangkap, diikuti oleh Ceyx rufidorsa dan Pycnonotus erythropthalmos. Berdasarkan komposisi guild daerah ini didominasi oleh pemakan serangga-buah-buahan (I/F), sedangkan jenis pemakan serangga pada serasah (LGI) dan pemakan buah-buahan dilantai hutan (TF) paling sedikit tertangkap. Berdasarkan bulan pengamatan terlihat pula adanya variasi hasil tangkapan.

Kata kunci : Burung, struktur komunitas, hutan dataran rendah, Sumatera Barat

PENDAHULUAN

Upaya mengetahui bagaimana burung lapisan bawah di daerah tropis memberikan respon terhadap proses fragmentasi habitat dan pembentukan efek tepi, merupakan hal yang sangat penting dalam kegiatan konservasi. Kegiatan konservasi burung selama ini masih cenderung dilakukan di daerah yang dilindungi, hutan primer atau yang belum terganggu atau ditekankan pada jenis-jenis yang terancam punah. Sejauh ini sangat sedikit perhatian diberikan kepada jenis yang umum dijumpai, ataupun jenis yang mendiami daerah hutan sekunder. Walaupun dalam kenyataannya sebagian besar hutan yang ada sekarang ini merupakan hutan sekunder. Dalam penelitian ini diamati struktur komunitas burung di daerah pinggiran hutan sekunder di daerah dataran rendah Sumatera Barat.

BAHAN DAN CARA KERJA

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Desember 2002, di daerah Jorong Sipisang, Nagari Anduriang, Kecamatan 2 x 11, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat (0o33'0,5"LS dan 100o21'24,5" BT, 250-600 mdpl), sekitar 50 km dari kota Padang, disebelah kanan jalur transportasi Padang-Bukittinggi. Desa ini terletak di daerah aliran sungai Batang Anai yang mengalir dari kawasan cagar alam Lembah Anai. Vegetasi di desa ini dapat dibedakan atas daerah hutan sekunder tua, sekunder muda, peladangan, tanaman pekarangan, semak, dan persawahan. Beberapa jenis tumbuhan yang bisa dijumpai seperti beberapa jenis dari famili Fagaceae, Moraceae, Lauraceae dan tumbuhan pioneer seperti Macaranga spp, Mallotus spp, dan Piper aduncum.

Cara Kerja

Lima belas buah jala kabut (dengan ukuran setiap jala; tinggi 2,4 m, panjang 12 m, lebar mata jaring 2 cm) dipasang pada tiga lokasi, yaitu sepanjang aliran sungai, daerah hutan yang baru terbakar dan daerah punggung bukit yang merupakan batas ladang baru yang dibuka penduduk. Masing-masing 5 buah jala kabut dipasang secara bersambungan sehingga membentuk jalur sepanjang 60 meter. Pemasangan jala kabut dilakukan pada ketinggian ground level, yaitu batas dasar sekitar 20 cm dari permukaan tanah. Pemasangan dilakukan dua kali dalam sebulan, masing-masingnya dipasang selama lima hari kecuali 3 bulan pertama hanya dilakukan satu kali sebulan (total keseluruhan 79 hari kerja). Jala kabut dipasang dari pukul 6.00 WIB sampai 18.00 WIB, dengan pemeriksaan dilakukan setiap dua jam. Jika hari hujan atau berangin kencang, maka jala kabut tidak dioperasikan. Burung yang tertangkap ditandai dengan cincin dari Yamashina Institute for Ornithology, pengidentifikasian mengacu pada MacKinnon, Phillips & Balen (1998).

Analisis Data

Burung yang tertangkap ditabulasi dengan mengacu pada MacKinnon dkk., (1998), Komposisi guild dimodifikasi dari Wong (1986), ancaman fragmentasi terhadap jenis burung mengacu pada Lambert dan Collar (2002), sedangkan status keterancaman mengacu pada Birdlife International (2001). Perbandingan kelimpahan dihitung dari persentase perbandingan jumlah individu suatu jenis dibandingkan jumlah keseluruhan individu yang tertangkap. Keanekaragaman dihitung dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener (Maguran, 1988)

HASIL

Sebanyak 567 individu burung tertangkap selama penelitian, burung-burung tersebut terdiri dari 73 jenis dari 21 famili. Individu burung yang paling banyak tertangkap adalah dari famili Nectariniidae, diikuti oleh Pycnonotidae dan Timaliidae, komposisi burung berdasarkan famili terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Komposisi burung yang tertangkap di daerah Sipisang berdasarkan famili

Berdasarkan jenis, Arachnothera longirostra merupakan jenis yang menunjukkan jumlah individu tertangkap paling banyak, diikuti oleh Ceyx rufidorsa dan Pycnonotus erythropthalmos. Daftar dan persentase jumlah individu setiap jenis burung yang tertangkap selama pelaksanaan penelitian tercantum pada Lampiran 1. Berdasarkan kriteria Karr (1971) disitir oleh Wong (1986) yang mengelompokkan jenis burung yang tertangkap dengan total individu kurang dari 2 % sebagai jenis yang jarang dan diatas 2 % dikelompokkan sebagai jenis yang umum, maka dalam penelitian ini 79.09 % dari jenis burung yang tertangkap bisa dikategorikan sebagai jarang dan 21.91 % lainnya sebagai jenis yang umum. Nilai indeks keragaman (H’) dan nilai Evenness (E), menunjukkan bahwa daerah Sipisang mempunyai keragaman jenis yang tinggi. Indeks keragaman Shannon Wiener (H’) untuk daerah ini adalah sebesar 3,626 dengan nilai Evenness (E) sebesar 0,485

Pengelompokan berdasarkan guild (kategori dan jenisnya sesuai dengan Lampiran 1), menunjukkan bahwa daerah ini didominasi oleh jenis pemakan serangga-buah-buahan (I/F), diikuti oleh kelompok pemakan serangga-nektar (I/N). Sedangkan jenis-jenis yang merupakan pemakan serangga pada serasah (LGI) dan pemakan buah dilantai hutan (TF) merupakan kelompok yang paling sedikit tertangkap. Daerah ini didominasi oleh pemakan serangga dan hanya sedikit yang merupakan jenis pemakan buah-buahan, secara lengkap terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Komposisi guild jenis burung di Sipisang

Hasil pengamatan juga menunjukkan adanya perbedaan hasil penangkapan berdasarkan bulan pengamatan. Perbedaan ini teramati baik pada jumlah individu maupun pada jumlah jenis. Pada Gambar 3 terlihat bahwa jumlah jenis dan individu terbanyak tertangkap pada bulan Juni, sedangkan paling sedikit adalah pada bulan Maret.


Gambar 3. Jumlah individu burung yang tertangkap selama penelitian; (A) jumlah kumulatif (B) Variasi bulanan

PEMBAHASAN

Komposisi jenis penyusun komunitas burung di daerah Sipisang seperti terlihat pada Gambar 1 menunjukkan adanya dominansi oleh famili Nectariniidae dan Pycnonotidae. Nectariniidae dan Pycnonotidae merupakan burung yang menyukai daerah hutan sekunder, pinggiran hutan dan pemukiman sebagai daerah aktivitas mereka (MacKinnon dkk., 1998). Hal ini terkait dengan ketersediaan makanan utama mereka (serangga dan nektar). Beberapa penelitian lain juga menunjukkan bahwa komunitas burung biasanya didominasi oleh beberapa jenis tertentu (mempunyai kelimpahan relatif yang tinggi) dengan sebagian besar jenis lainnya dikategorikan jarang (Karr dkk., 1983, Wong, 1986, Nagata dkk., 1996, Prawiradilaga dkk., 2002). Pada penelitian ini Arachnothera longirostra merupakan jenis yang menunjukkan jumlah individu tertangkap paling tinggi, diikuti oleh Ceyx rufidorsa dan Pycnonotus erythropthalmos. Tingginya persentase jumlah Arachnothera longirostra juga dijumpai di daerah Gunung Halimun, Jawa Barat (Prawiradilaga, dkk., 2002).

Komunitas burung di daerah penelitian juga sangat jelas menunjukkan adanya percampuran jenis burung yang menyukai daerah tengah hutan (Picidae, Monarchidae, Trogonidae, Pittidae), dengan jenis burung daerah tepi (seperti beberapa jenis dari famili Pycnonotidae, Nectariniidae, Sylviidae, Laniidae, Timaliidae) dan jenis-jenis daerah terbuka (seperti beberapa jenis dari famili Sylviidae, Estrildidae, Pycnonotidae dan Meropidae). Jenis-jenis yang dijumpai pada lokasi penelitian juga menunjukkan toleransi yang berbeda terhadap fragmentasi dan penebangan (Lampiran 1). Hal ini menunjukkan pentingnya daerah pinggiran hutan sebagai daerah penyangga keragaman jenis burung, sekaligus sebagai media berlangsungnya proses suksesi komunitas burung. Gambaran ini juga menunjukkan pentingnya daerah ecoton (daerah peralihan antara dua ekosistem yang berdekatan) dalam menopang tingkat keragaman jenis burung. Farina (2000) menyatakan bahwa ecoton sebagai sebuah zona yang memungkinkan berbagai jenis hidup pada batas toleransi kondisi lokal sangat baik digunakan untuk melihat perubahan yang terjadi pada lingkungan.

Komposisi guild yang ada semakin menunjukkan bahwa daerah ini merupakan daerah peralihan. Guild didefinisikan sebagai kelompok jenis yang memanfaatkan kelas sumber daya yang sama dengan cara yang sama (Wiens, 1989). Pemakan serangga dan buah-buahan (I/F), serangga dan nektar (I/N) merupakan kelompok yang umum dijumpai di daerah hutan sekunder, pinggiran hutan sampai daerah terbuka, sedangkan pemakan buah-buahan lantai hutan (TF) dan pemakan buah daerah atas (AF) serta kelompok pemakan serangga pada batang pohon (BGI) menyukai daerah tengah hutan.

Populasi dan komunitas burung sangat jelas menunjukkan adanya variasi berdasarkan waktu. Variasi ini terlihat baik pada jumlah jenis ataupun individu burung yang tertangkap. Hal ini merupakan perwujudan dari dinamika biologi terkait dengan masalah ketersediaan makanan, pola distribusi, dan keadaan demografis burung (Wiens, 1989). Prawiradilaga dkk., (2002) juga menemukan gambaran yang sama di daerah gunung Halimun, namun pada penelitian tersebut jumlah hasil tangkapan yang tertinggi didapatkan pada bulan Februari sampai Maret.


KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan pentingnya daerah pinggiran hutan dalam menopang keragaman jenis burung disuatu daerah. Hal ini terlihat dari tingginya jumlah jenis (73 jenis dari 21 famili) dan individu (567 individu) burung yang tertangkap selama penelitian, serta komposisi jenis penyusun komunitas burung tersebut. Famili Nectariniidae merupakan famili yang paling banyak tertangkap, diikuti oleh Pycnonotidae. Arachnothera longirostra merupakan jenis yang paling sering tertangkap, diikuti oleh Ceyx rufidorsa dan Pycnonotus erythropthalmos. Berdasarkan guild daerah ini didominasi oleh kelompok pemakan serangga-buah-buahan (I/F), sedangkan jenis pemakan serangga pada serasah (LGI) dan dan pemakan buah-buahan dilantai hutan (TF) paling sedikit tertangkap. Hasil pengamatan juga menunjukkan adanya perbedaan hasil tangkapan berdasarkan bulan pengamatan

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Lady Mc Neicee melalui Cheng Kim Loke Foundation yang telah mendanai penelitian ini. Terimakasih kepada Mas Hiroshi Kobayashi, yang telah memulai, mengarahkan, menfasilitasi semua kegiatan yang kami lakukan selama ini. Terimakasih buat rekan-rekan yang membantu selama pelaksanaan penelitian Limarnis, M. Nazri, Santi, Agung, Alfi, Pak Aji, Pak Datuak Guci dan Amak. Terimakasih juga pada Ibu Dewi M. Prawiradilaga dan Bapak Darjono yang telah memberikan koreksi pada awal penulisan tulisan ini. Tulisan ini merupakan bagian dari rencana disertasi yang sedang disusun pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

DAFTAR PUSTAKA.

Birdlife International, 2001. Threatened Birds of Asia: the Birdlife International Red Data Book. Cambridge, UK.

Farina, A. 2000. Principles and Method in Landscape Ecology. Kluwer Academic Publications. Dordrecht.

Lambert, F.R & N.J. Collar. 2002. The Future for Sundaic Lowland Forest Birds: Long-term Effects of Commercial Logging and Fragmentation. Forktail 18:127-146.

Karr, J.R., D.S. Schemske & N.V. L. Brokaw. 1983. Temporal Variation in the Understorey Bird Community of Tropical Forest, in Leight, E.J., (Ed). 1983. The Ecology of a Tropical Forest Seasonal Rhythms and Long Term Changes. Pp. 441-454. Oxford University Press.

MacKinnon, J. & K. Phillips. 1993. A Field Guide of the Birds of Borneo, Sumatra, Java and Bali. Oxford University Press.

MacKinnon, J., K. Phillips & B. van Balen. 1998. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (termasuk Sarawak, Sabah dan Brunei Darussalam). Puslitbang Biologi LIPI- Birdlife International Indonesia Program. Bogor.

Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Princenton University Press.

Nagata, H., Z. Akbar & A.H. Idris. 1996. The Effect of Forest Disturbance on Avian Community Structure at Two Lowland Forest in Peninsular Malaysia. Dalam Hasan, Z.A.A. & Z. Akbar (Ed). Conservation and Faunal Biodiversity in Malaysia. Penerbit University Kebangsaan Malaysia. Bangi.

Prawiradilaga, D.M., D. Astuti, A. Marakarmah, S. Wijamukti & A. Kundarmasno. 2002. Monitoring the Bird Community at G. Kendeng-Gunung Halimun National Park. Part A. Dalam Kahono, S., T. Okayama & A. J. Arief (Ed). Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Vol IX. Pp 4-13 Biodiversity of the Last Submontane Tropical Rain Forest in Java: Gunung Halimun National Park. LIPI-JICA-PHKA.

Salsabila, A., H. Kobayashi & W. Novarino. 1997. Bird Community Structure of Gallery Forest in West Sumatra. Pp 278-287. Annual Report of FBRT Project no 3 JICA- Andalas University.

Wiens, J.A. 1989. The ecology of Bird Communities. Cambridge University Press.

Wong, M. 1986. Trophic organization of Understorey Birds in Malaysian Dipterocarp Forest. Auk 103:100-116.


Wednesday, December 07, 2005

Keragaman Jenis Burung di Area Konsesi PT Nusa Lease Timber Corp dan PT Serestra II Jambi


Wilson Novarino & Anas Salsabila
Jurnal Biologila Vol. 1, No. 9, Th. 2003. Perhimpunan Biologi Cabang Padang

ABSTRACT
The survey on Avian Diversity on concession area PT Nusalease Timber Corp (Sungai Matenang) and PT Serestra II (Camp Sengak) has been done since November until December 2000. The studies carried out on three-line observation, logging road, cutting forest and undisturbed forest. Area on PT NTC separated to 2 elevation region above and below 800 m asl, area on PT Serestra II located on 450 to 750 m asl. Twenty species list method were using in this studies. 102 birds species observed on PT NTC, 77 species below 800 m ASL, 65 above 800 m asl, and 40 species fond on both elevation. In PT Sersetra II area, only 82 bird species was observed, given 124 bird species for both concession area. Four bird’s species in this study listed as endemic birds species for Sumatra.


ABSTRAK


Pengamatan keragaman jenis burung di kawasan HPH PT Nusalease Timber Corp (Sungai Matenang) dan PT Serestra II (Camp Sengak), telah dilakukan pada bulan November sampai Desember 2000. Pengamatan dilakukan pada tiga jalur pengamatan yaitu jalan logging, hutan bekas tebangan dan hutan yang belum ditebang. Daerah PT NTC dibedakan antara hutan dataran rendah (<> 800 m dpl) sedangkan di areal PT Serestra ketinggian daerah pengamatan berkisar antara 450 – 750 m dpl. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metoda twenty species list. Sebanyak 102 jenis burung berhasil diamati pada kawasan PT NTC, 77 jenis dibawah 800 m dpl dan 65 jenis diatas 800 m dpl, 40 jenis dijumpai pada kedua area ketinggian. Pada Kawasan PT Serestra II hanya tercatat 82 jenis burung, dengan total 124 jenis burung untuk kedua lokasi HPH. Dari jenis-jenis burung yang dijumpai 4 jenis diantaranya merupakan jenis burung endemik di Sumatera.

PENDAHULUAN
Indonesia menduduki posisi yang penting dalam peta keanekaragaman hayati dunia. Secara global Indonesia termasuk dalam tiga besar negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati terbesar (mega diversity countries), bersama dengan Brazil dan Zaire. 17 % dari total jenis burung di dunia dapat dijumpai di Indonesia (1531 jenis), dengan 381 jenis diantaranya merupakan jenis burung endemik. 583 jenis tercatat mendiami Pulau Sumatera, dengan 438 jenis (75 %) merupakan jenis yang berbiak di Sumatera (Andrewm 1992). Jumlah ini meningkat jadi 602 dan 450 jika digabungkan dengan jenis-jenis lain yang mendiami pulau-pulau kecil disepanjang pantai sumatera. Dua belas jenis dari jenis-burung diatas merupakan jenis burung yang endemik didataran Sumatera (Marle and Voous, 1988)
Sumatera merupakan pulau dengan tingkat keendemikan burung paling rendah diantara pulau-pulau di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan sejarah geologis pemisahannya dari dataran Asia. Mackinnon and Phillips (1993) menyatakan bahwa Sumatera memiliki 306 jenis burung (77 %) yang juga terdapat di Kalimantan, 345 jenis (87 %) yang juga terdapat disemenanjung Malaya dan 211 jenis (53 %) yang terdapat di Jawa
Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan aktivitas untuk memenuhi kebutuhannya, manusia telah mempersempit luas habitat burung di Sumatera. Upaya penetapan kawasan konservasi yang mencapai 30 buah dengan luas mencapai 45.000 km 2 atau 10 % dari total luas Sumatera seharusnya mampu menahan laju kepunahan burung-burung di Sumatera. Namun kegiatan-kegiatan illegal dalam kawasan tersebut mengakibatkan upaya konservasi yang dilakukan belum bisa mencapai titik optimum. Selain itu bentuk konversi hutan dalam bentuk konsesi area diyakini memberikan pengaruh yang nyata bagi kehidupan avifauna didaerah tersebut.
Tulisan ini secara garis besar mengambarkan hasil pengamatan keanekaragaman jenis burung dengan metoda twenty species list di kawasan konsesi area (HPH) PT Nusalease Timber Corporation (Sungai Matenang) dan PT Serestra II (Camp Sengak) Propinsi Jambi. Kedua perusahaan ini menerapkan pola Tebang Pilih Tanam Indonesia, dengan pola kisaran pohon yang ditebang dengan diameter diatas 60 cm.

BAHAN DAN METODA
Waktu dan Tempat
Pengamatan dilakukan pada Bulan November sampai Desember 2000 di dua kawasan konsesi yaitu PT Nusalease Timber Corporation (PT NTC) dan PT Serestra II Propinsi Jambi. Pengamatan dilakukan pada tiga jalur pengamatan yaitu jalan logging, hutan bekas tebangan dan hutan yang belum ditebang. Jalur logging yang dilalui pada PT NTC merupakan jalur utama antara Base Camp ke blok tebangan RKT 1999/2000. hutan bekas tebangan merupakan realisasi RKT 1998/1999 dan hutan yang belum ditebang merupakan RKT 2000/2001 dan daerah pinggir aliran sungai. Lokasi pengamatan secara umum dipisahkan antara hutan dataran rendah (<> 800 m dpl). Lokasi pada hutan dataran rendah merupakan daerah yang sudah ditebang, sedangkan pada dataran tinggi merupakan daerah yang sudah, sedang dan akan ditebang.
Untuk kawasan PT Serestra II, jalan logging memanjang dari Base Camp, melintasi blok tebangan RKT 1992/1993, 1993/1994, 1994/1995 dan RKT 2001/2002. Pengamatan pada hutan bekas tebangan dilakukan dengan menyusuri batas blok hutan RKT 1992/1993, 1993/1994 (RKT 1994/1995 tidak bisa dijangkau karena terlalu jauh). Untuk hutan yang belum ditebang dilakukan pada blok RKT 2001/2002 dan Kebun bibit. Ketinggian daerah pengamatan berkisar antara 450 – 750 m dpl.

Cara kerja
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metoda twenty species list (Mackinnon and Phillips, 1993). Setiap jenis burung yang dijumpai dicatat dalam suatu daftar yang memuat nama dua puluh jenis burung yang dijumpai, setelah itu pencatatan dimulai pada daftar yang baru. Daftar ini digunakan untuk membuat kurva kekayaan jenis burung pada lokasi penelitian.
Pengamatan dilakukan dari pukul 6.00 pagi sampai 11.00 dan sore hari 15.00-17.30 (kecuali hari hujan) Peralatan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah Binoculer (Swarovski), GPS Garmin 12 XL, Field scope Nikon, dan Kamera Nikon 801S. Sebagai panduan identifikasi lapangan digunakan buku Mackinnon and Phillips (1993) dan King, Woodcoock and Dickinson (1975).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaman Jenis
Pengamatan terhadap jenis burung dengan menggunakan metoda Twenty species list belum berhasil mencapai asimtof. Serestra II menunjukkan pertambahan jumlah jenis yang lebih landai dengan total jenis yang teramati 82 jenis. Sebanyak 102 jenis burung diamati pada kawasan PT NTC, 77 jenis dibawah 800 m dpl dan 65 diatas 800 m dpl, 40 jenis dijumpai pada kedua area ketinggian (Lampiran 1). Jika dilihat pada kurva pengamatan, walaupun Serestra II mempunyai jumlah jenis yang tertinggi namun penambahan jumlah jenis lebih banyak pada daerah NTC diatas ketinggian 800 m dpl, hal ini semakin terlihat jika pembandingan dilakukan untuk pertambahan jumlah jenis pada lima tabel pertama.

Gambar 1. Kurva pertambahan jenis burung yang teramati di lokasi penelitian
Gambar 1. diatas menunjukkan bahwa masih terjadi penambahan jumlah jenis yang cukup tinggi, dan tentunya akan bertambah jika luas daerah penelitian ditambah. Menurut Poulsen, Krabbe, Floander, Hinojosa dan Quiroga, (1997), penggunaan metoda twenty spcies list ini memang sangat baik digunakan untuk pendugaan secara cepat kekayaan avifauna disuatu daerah. Metoda ini juga dapat memberikan gambaran a) apakah daerah yang disurvai sudah mencukupi, b) kecenderungan kekayaan jenis c) kelimpahan relatif setiap jenis dan d) α indeks keragaman. Pada Gambar 2. berikut ditampilkan perbandingan jumlah jenis yang dijumpai berdasarkan jalur pengamatan.

Gambar 2. Perbandingan jumlah jenis burung yang dijumpai berdasarkan jalur pengamatan

Pada grafik diatas terlihat bahwa jumlah jenis yang dijumpai pada hutan bekas tebangan lebih banyak dibandingkan daerah jalan dan hutan yang belum ditebang. Hal ini disebabkan karena hutan yang bekas ditebang mempunyai tingkatan stratifikasi yang lebih banyak dibandingkan daerah lainnya. Selain itu efek pembalakan menimbulkan proses regenerasi dimana tumbuhan pioneer bercampur dengan vegetasi awal. Hal ini menyebabkan keragaman tumbuhan yang lebih tinggi, sehingga secara tidak langsung menyediakan makanan yang lebih bervariasi bagi hewan yang mendiami daerah tersebut. MacArthur (1971) cit Wiens (1989) menyatkan bahwa keragaman jenis burung pada suatu daerah sangat terkait dengan keragaman vegetasi dan stratifikasi pada habitat. Keragaman jenis burung bisa digunakan untuk meprediksi keragaman vegetasi disuatu daerah demikian pula sebaliknya.
Keberadaan Jenis Burung endemik

Keberadaan jenis-jenis endemik pada daerah pengamatan tentunya menunjukkan bahwa kegiatan konversi hutan akan sangat menganggu kelestarian mereka. Burung yang bersifat endemik sangat rentan untuk mengalami kepunahan jika habitat asli mereka terganggu.

KESIMPULAN
Sebanyak 102 jenis burung berhasil diamati pada kawasan PT NTC, 77 jenis dibawah 800 m dpl dan 65 jenis diatas 800 m dpl, 40 jenis dijumpai pada kedua area ketinggian. Pada Kawasan PT Serestra II hanya tercatat 82 jenis burung. Dari jenis-jenis burung yang dijumpai 4 jenis diantaranya merupakan jenis burung endemik di Sumatera. Beberapa jenis burung indicator kualitas hutan seperti famili Picidae dan Bucerotidae juga teramati pada kedua lokasi HPH.

TERIMAKASIH
Kegiatan pengamatan pada kedua lokasi HPH ini sepenuhnya terlaksana dengan bantuan dana dari Dr. Francis R. Lambert sejalan dengan kegiatan ICDP-TNKS. Terimakasih juga kepada pimpinan dilingkungan PT Tanjung Johor, karyawan dan karyawati HPH PT Serestra II dan PT Nusa Lease Timber Corp.

DAFTAR PUSTAKA
- Andrew, P. 1992. The Birds of Indonesia, a Checklist (Peters’ Sequence). Kukila Checklist No 1. Indonesian Ornithological Society.

- King, B., Woodcock, M. dan Dickinson, E.C. 1975. Field Gude to the Birds of South East Asia. Harper Collins Publishers. London.

- MacKinnon, J., Phillips, K. 1993. Field guide to the Birds of Sumatera, Borneo, Java and Bali (The greater Sunda Islands). Oxfor University Press. Oxford.

- Poulsen, B.O., Krabbe, N., Frolander, A., Hinojosa, M.B., and Quiroga, C.O. 1997. A Rapid Assessment of Bolivian and Ecuadorian Montane avifaunas using Twenty species Lists: Efficiency, Biases and Data Gathered. Bird Conservation International. (1997) 7:53-67.