Struktur Komunitas Burung Lapisan Bawah pada Daerah Pinggiran Hutan Sekunder Dataran Rendah Sumatera Barat
Wilson Novarino, Anas Salsabila & Jarulis
Zoo Indonesia No 29 : 51 – 58. Masyarakat Zoologi Idonesia.
ABSTRACT
The study on understorey bird community structure in edge secondary lowland forest in West Sumatra has been done since March 2002 until December 2002. The study conducted by using 15 mists net that set up on ground level. Field studies conducted twice a month each for five days (except for the first three month only once a month), in total 79 working days. A number of 567 individuals have been captured during the field studies, those birds belong to 73 Species from 21 families. Nectariniidae became the most often family captured, followed by Pycnonotidae. Based on species Arachnothera longirostra became the most often captured, followed by Ceyx rufidorsa and Pycnonotus erythropthalmos. Based on guild, this area dominated by insectivore-frugivore birds (I/F) and litter gleaning insect (LGI) and Terestrial Frugivorous (TF) became the lowest one. The results also show variation on birds captured based on month of field studies.
Key word: Birds, community structure, lowland forest, West Sumatra
ABSTRAK
Penelitian mengenai struktur komunitas burung lapisan bawah pada daerah pinggiran hutan sekunder Sumatera Barat telah dilakukan sejak Maret 2002 sampai Desember 2002. Penelitian dilakukan dengan menggunakan 15 buah jala kabut yang dipasang pada ketinggian ground level. Pengamatan dilakukan dua kali sebulan dengan masing-masingnya selama lima hari (untuk tiga bulan pertama hanya sekali sebulan) dengan total keseluruhan 79 hari kerja. Sebanyak 567 individu burung tertangkap selama penelitian, burung-burung tersebut tergolong kedalam 73 jenis dari 21 famili. Nectariniidae merupakan famili yang paling sering tertangkap, diikuti oleh Pycnonotidae. Pada tingkat jenis, Arachnothera longirostra merupakan jenis yang paling sering tertangkap, diikuti oleh Ceyx rufidorsa dan Pycnonotus erythropthalmos. Berdasarkan komposisi guild daerah ini didominasi oleh pemakan serangga-buah-buahan (I/F), sedangkan jenis pemakan serangga pada serasah (LGI) dan pemakan buah-buahan dilantai hutan (TF) paling sedikit tertangkap. Berdasarkan bulan pengamatan terlihat pula adanya variasi hasil tangkapan.
Kata kunci : Burung, struktur komunitas, hutan dataran rendah, Sumatera Barat
PENDAHULUAN
Upaya mengetahui bagaimana burung lapisan bawah di daerah tropis memberikan respon terhadap proses fragmentasi habitat dan pembentukan efek tepi, merupakan hal yang sangat penting dalam kegiatan konservasi. Kegiatan konservasi burung selama ini masih cenderung dilakukan di daerah yang dilindungi, hutan primer atau yang belum terganggu atau ditekankan pada jenis-jenis yang terancam punah. Sejauh ini sangat sedikit perhatian diberikan kepada jenis yang umum dijumpai, ataupun jenis yang mendiami daerah hutan sekunder. Walaupun dalam kenyataannya sebagian besar hutan yang ada sekarang ini merupakan hutan sekunder. Dalam penelitian ini diamati struktur komunitas burung di daerah pinggiran hutan sekunder di daerah dataran rendah Sumatera Barat.
BAHAN DAN CARA KERJA
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Desember 2002, di daerah Jorong Sipisang, Nagari Anduriang, Kecamatan 2 x 11, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat (0o33'0,5"LS dan 100o21'24,5" BT, 250-600 mdpl), sekitar 50 km dari kota Padang, disebelah kanan jalur transportasi Padang-Bukittinggi. Desa ini terletak di daerah aliran sungai Batang Anai yang mengalir dari kawasan cagar alam Lembah Anai. Vegetasi di desa ini dapat dibedakan atas daerah hutan sekunder tua, sekunder muda, peladangan, tanaman pekarangan, semak, dan persawahan. Beberapa jenis tumbuhan yang bisa dijumpai seperti beberapa jenis dari famili Fagaceae, Moraceae, Lauraceae dan tumbuhan pioneer seperti Macaranga spp, Mallotus spp, dan Piper aduncum.
Cara Kerja
Lima belas buah jala kabut (dengan ukuran setiap jala; tinggi 2,4 m, panjang 12 m, lebar mata jaring 2 cm) dipasang pada tiga lokasi, yaitu sepanjang aliran sungai, daerah hutan yang baru terbakar dan daerah punggung bukit yang merupakan batas ladang baru yang dibuka penduduk. Masing-masing 5 buah jala kabut dipasang secara bersambungan sehingga membentuk jalur sepanjang 60 meter. Pemasangan jala kabut dilakukan pada ketinggian ground level, yaitu batas dasar sekitar 20 cm dari permukaan tanah. Pemasangan dilakukan dua kali dalam sebulan, masing-masingnya dipasang selama lima hari kecuali 3 bulan pertama hanya dilakukan satu kali sebulan (total keseluruhan 79 hari kerja). Jala kabut dipasang dari pukul 6.00 WIB sampai 18.00 WIB, dengan pemeriksaan dilakukan setiap dua jam. Jika hari hujan atau berangin kencang, maka jala kabut tidak dioperasikan. Burung yang tertangkap ditandai dengan cincin dari Yamashina Institute for Ornithology, pengidentifikasian mengacu pada MacKinnon, Phillips & Balen (1998).
Analisis Data
Burung yang tertangkap ditabulasi dengan mengacu pada MacKinnon dkk., (1998), Komposisi guild dimodifikasi dari Wong (1986), ancaman fragmentasi terhadap jenis burung mengacu pada Lambert dan Collar (2002), sedangkan status keterancaman mengacu pada Birdlife International (2001). Perbandingan kelimpahan dihitung dari persentase perbandingan jumlah individu suatu jenis dibandingkan jumlah keseluruhan individu yang tertangkap. Keanekaragaman dihitung dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener (Maguran, 1988)
HASIL
Sebanyak 567 individu burung tertangkap selama penelitian, burung-burung tersebut terdiri dari 73 jenis dari 21 famili. Individu burung yang paling banyak tertangkap adalah dari famili Nectariniidae, diikuti oleh Pycnonotidae dan Timaliidae, komposisi burung berdasarkan famili terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Komposisi burung yang tertangkap di daerah Sipisang berdasarkan famili
Berdasarkan jenis, Arachnothera longirostra merupakan jenis yang menunjukkan jumlah individu tertangkap paling banyak, diikuti oleh Ceyx rufidorsa dan Pycnonotus erythropthalmos. Daftar dan persentase jumlah individu setiap jenis burung yang tertangkap selama pelaksanaan penelitian tercantum pada Lampiran 1. Berdasarkan kriteria Karr (1971) disitir oleh Wong (1986) yang mengelompokkan jenis burung yang tertangkap dengan total individu kurang dari 2 % sebagai jenis yang jarang dan diatas 2 % dikelompokkan sebagai jenis yang umum, maka dalam penelitian ini 79.09 % dari jenis burung yang tertangkap bisa dikategorikan sebagai jarang dan 21.91 % lainnya sebagai jenis yang umum. Nilai indeks keragaman (H’) dan nilai Evenness (E), menunjukkan bahwa daerah Sipisang mempunyai keragaman jenis yang tinggi. Indeks keragaman Shannon Wiener (H’) untuk daerah ini adalah sebesar 3,626 dengan nilai Evenness (E) sebesar 0,485
Pengelompokan berdasarkan guild (kategori dan jenisnya sesuai dengan Lampiran 1), menunjukkan bahwa daerah ini didominasi oleh jenis pemakan serangga-buah-buahan (I/F), diikuti oleh kelompok pemakan serangga-nektar (I/N). Sedangkan jenis-jenis yang merupakan pemakan serangga pada serasah (LGI) dan pemakan buah dilantai hutan (TF) merupakan kelompok yang paling sedikit tertangkap. Daerah ini didominasi oleh pemakan serangga dan hanya sedikit yang merupakan jenis pemakan buah-buahan, secara lengkap terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Komposisi guild jenis burung di Sipisang
Hasil pengamatan juga menunjukkan adanya perbedaan hasil penangkapan berdasarkan bulan pengamatan. Perbedaan ini teramati baik pada jumlah individu maupun pada jumlah jenis. Pada Gambar 3 terlihat bahwa jumlah jenis dan individu terbanyak tertangkap pada bulan Juni, sedangkan paling sedikit adalah pada bulan Maret.
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | | |
| | | | | | | | |
Gambar 3. Jumlah individu burung yang tertangkap selama penelitian; (A) jumlah kumulatif (B) Variasi bulanan
PEMBAHASAN
Komposisi jenis penyusun komunitas burung di daerah Sipisang seperti terlihat pada Gambar 1 menunjukkan adanya dominansi oleh famili Nectariniidae dan Pycnonotidae. Nectariniidae dan Pycnonotidae merupakan burung yang menyukai daerah hutan sekunder, pinggiran hutan dan pemukiman sebagai daerah aktivitas mereka (MacKinnon dkk., 1998). Hal ini terkait dengan ketersediaan makanan utama mereka (serangga dan nektar). Beberapa penelitian lain juga menunjukkan bahwa komunitas burung biasanya didominasi oleh beberapa jenis tertentu (mempunyai kelimpahan relatif yang tinggi) dengan sebagian besar jenis lainnya dikategorikan jarang (Karr dkk., 1983, Wong, 1986, Nagata dkk., 1996, Prawiradilaga dkk., 2002). Pada penelitian ini Arachnothera longirostra merupakan jenis yang menunjukkan jumlah individu tertangkap paling tinggi, diikuti oleh Ceyx rufidorsa dan Pycnonotus erythropthalmos. Tingginya persentase jumlah Arachnothera longirostra juga dijumpai di daerah Gunung Halimun, Jawa Barat (Prawiradilaga, dkk., 2002).
Komunitas burung di daerah penelitian juga sangat jelas menunjukkan adanya percampuran jenis burung yang menyukai daerah tengah hutan (Picidae, Monarchidae, Trogonidae, Pittidae), dengan jenis burung daerah tepi (seperti beberapa jenis dari famili Pycnonotidae, Nectariniidae, Sylviidae, Laniidae, Timaliidae) dan jenis-jenis daerah terbuka (seperti beberapa jenis dari famili Sylviidae, Estrildidae, Pycnonotidae dan Meropidae). Jenis-jenis yang dijumpai pada lokasi penelitian juga menunjukkan toleransi yang berbeda terhadap fragmentasi dan penebangan (Lampiran 1). Hal ini menunjukkan pentingnya daerah pinggiran hutan sebagai daerah penyangga keragaman jenis burung, sekaligus sebagai media berlangsungnya proses suksesi komunitas burung. Gambaran ini juga menunjukkan pentingnya daerah ecoton (daerah peralihan antara dua ekosistem yang berdekatan) dalam menopang tingkat keragaman jenis burung. Farina (2000) menyatakan bahwa ecoton sebagai sebuah zona yang memungkinkan berbagai jenis hidup pada batas toleransi kondisi lokal sangat baik digunakan untuk melihat perubahan yang terjadi pada lingkungan.
Komposisi guild yang ada semakin menunjukkan bahwa daerah ini merupakan daerah peralihan. Guild didefinisikan sebagai kelompok jenis yang memanfaatkan kelas sumber daya yang sama dengan cara yang sama (Wiens, 1989). Pemakan serangga dan buah-buahan (I/F), serangga dan nektar (I/N) merupakan kelompok yang umum dijumpai di daerah hutan sekunder, pinggiran hutan sampai daerah terbuka, sedangkan pemakan buah-buahan lantai hutan (TF) dan pemakan buah daerah atas (AF) serta kelompok pemakan serangga pada batang pohon (BGI) menyukai daerah tengah hutan.
Populasi dan komunitas burung sangat jelas menunjukkan adanya variasi berdasarkan waktu. Variasi ini terlihat baik pada jumlah jenis ataupun individu burung yang tertangkap. Hal ini merupakan perwujudan dari dinamika biologi terkait dengan masalah ketersediaan makanan, pola distribusi, dan keadaan demografis burung (Wiens, 1989). Prawiradilaga dkk., (2002) juga menemukan gambaran yang sama di daerah gunung Halimun, namun pada penelitian tersebut jumlah hasil tangkapan yang tertinggi didapatkan pada bulan Februari sampai Maret.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan pentingnya daerah pinggiran hutan dalam menopang keragaman jenis burung disuatu daerah. Hal ini terlihat dari tingginya jumlah jenis (73 jenis dari 21 famili) dan individu (567 individu) burung yang tertangkap selama penelitian, serta komposisi jenis penyusun komunitas burung tersebut. Famili Nectariniidae merupakan famili yang paling banyak tertangkap, diikuti oleh Pycnonotidae. Arachnothera longirostra merupakan jenis yang paling sering tertangkap, diikuti oleh Ceyx rufidorsa dan Pycnonotus erythropthalmos. Berdasarkan guild daerah ini didominasi oleh kelompok pemakan serangga-buah-buahan (I/F), sedangkan jenis pemakan serangga pada serasah (LGI) dan dan pemakan buah-buahan dilantai hutan (TF) paling sedikit tertangkap. Hasil pengamatan juga menunjukkan adanya perbedaan hasil tangkapan berdasarkan bulan pengamatan
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Lady Mc Neicee melalui Cheng Kim Loke Foundation yang telah mendanai penelitian ini. Terimakasih kepada Mas Hiroshi Kobayashi, yang telah memulai, mengarahkan, menfasilitasi semua kegiatan yang kami lakukan selama ini. Terimakasih buat rekan-rekan yang membantu selama pelaksanaan penelitian Limarnis, M. Nazri, Santi, Agung, Alfi, Pak Aji, Pak Datuak Guci dan Amak. Terimakasih juga pada Ibu Dewi M. Prawiradilaga dan Bapak Darjono yang telah memberikan koreksi pada awal penulisan tulisan ini. Tulisan ini merupakan bagian dari rencana disertasi yang sedang disusun pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR PUSTAKA.
Birdlife International, 2001. Threatened Birds of Asia: the Birdlife International Red Data Book. Cambridge, UK.
Farina, A. 2000. Principles and Method in Landscape Ecology. Kluwer Academic Publications. Dordrecht.
Lambert, F.R & N.J. Collar. 2002. The Future for Sundaic Lowland Forest Birds: Long-term Effects of Commercial Logging and Fragmentation. Forktail 18:127-146.
Karr, J.R., D.S. Schemske & N.V. L. Brokaw. 1983. Temporal Variation in the Understorey Bird Community of Tropical Forest, in Leight, E.J., (Ed). 1983. The Ecology of a Tropical Forest Seasonal Rhythms and Long Term Changes. Pp. 441-454. Oxford University Press.
MacKinnon, J. & K. Phillips. 1993. A Field Guide of the Birds of Borneo, Sumatra, Java and Bali. Oxford University Press.
MacKinnon, J., K. Phillips & B. van Balen. 1998. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (termasuk Sarawak, Sabah dan Brunei Darussalam). Puslitbang Biologi LIPI- Birdlife International Indonesia Program. Bogor.
Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Princenton University Press.
Nagata, H., Z. Akbar & A.H. Idris. 1996. The Effect of Forest Disturbance on Avian Community Structure at Two Lowland Forest in Peninsular Malaysia. Dalam Hasan, Z.A.A. & Z. Akbar (Ed). Conservation and Faunal Biodiversity in Malaysia. Penerbit University Kebangsaan Malaysia. Bangi.
Prawiradilaga, D.M., D. Astuti, A. Marakarmah, S. Wijamukti & A. Kundarmasno. 2002. Monitoring the Bird Community at G. Kendeng-Gunung Halimun National Park. Part A. Dalam Kahono, S., T. Okayama & A. J. Arief (Ed). Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia Vol IX. Pp 4-13 Biodiversity of the Last Submontane Tropical Rain Forest in Java: Gunung Halimun National Park. LIPI-JICA-PHKA.
Salsabila, A., H. Kobayashi & W. Novarino. 1997. Bird Community Structure of Gallery Forest in West Sumatra. Pp 278-287. Annual Report of FBRT Project no 3 JICA- Andalas University.
Wiens, J.A. 1989. The ecology of Bird Communities. Cambridge University Press.
Wong, M. 1986. Trophic organization of Understorey Birds in Malaysian Dipterocarp Forest. Auk 103:100-116.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home